TEORI
PSIKOANALISIS
Oleh: Husnul Hamidiyah
I.
Pendahuluan
Psikoanalisis merupakan salah satu
aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Layaknya aliran besar
lainnya, marxisme contohnya, psikoanalisis telah merambah berbagai sektor
keilmuan seperti sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian. Psikoanalisis adalah
cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai
studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Sigmund Freud sendiri dilahirkan
di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23
September 1939. Bila beberapa pengikut Freud di kemudian hari menyimpang dari
ajarannya dan menempuh jalan sendiri-sendiri, mereka juga meninggalkan istilah psikoanalisis
dan memilih suatu nama baru untuk menunjukan ajaran mereka. Contoh yang
terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang menciptakan nama
"psikologi analitis" (en: Analitycal psychology) dan "psikologi
individual" (en: Individual psychology) bagi ajaran masing-masing. Psikoanalisis
memiliki tiga penerapan: 1) suatu metoda penelitian dari pikiran; 2) suatu ilmu
pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia; dan 3) suatu metoda perlakuan
terhadap penyakit psikologis atau emosional. Menurut Freud, kehidupan jiwa
memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (en:conscious), prasadar
(en:preconscious), dan tak-sadar (unconscious).
II.
Awal dan perkembangan Teori Psikoanalisis
Jacques
Lacan merupakan salah satu pembaca Freud yang secara tegas menolak pendapat Freud
tentang berkuasanya ego atas id. Lacan merupakan seorang psikoanalis kebangsaan
Perancis yang begitu berminat pada ide-ide Freud muda. Freud yang dianggap
masih memiliki tenaga untuk mempertahankan kekuatan ketidaksadaran sebagai
faktor pendorong kepribadian. Bagi Lacan, kontrol ego atas id adalah sesuatu
yang mustahil. Bagaimanapun, ego merupakan sebuah produk jadi dari id yang
terbentuk melalui mekanisme kesalahan mengenali (méconaît) diri di hadapan
cermin pada sebuah fase yang disebut fase cermin (statu de miroir). Ego adalah
ilusi atau pseudo-identitas. Statu de miroir merupakan fase yang pada akhirnya
menentukan keseluruhan identifikasi dalam diri manusia. Keseluruhan eksistensi
manusia, menurut Lacan, mau atau tidak, dipengaruhi dan dikontrol oleh
ketidaksadaran. Itulah jantung pemikiran Lacan.
Teori
Freud tentang tahap perkembangan psikoseksual memiliki tiga tahapan polimorfosa
pada bayi yaitu oral, anal, dan phallic, inilah kompleksitas pembentuk manusia
menjadi mahluk “dewasa” (Boeree, 2008: 420). Akan tetapi Lacan menciptakan
kategori berbeda dengan Freud untuk menjelaskan lintasan atau tahapan dari bayi
menuju dewasa. Tiga konsep itu yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan
hasrat (desire) yang berhubungan dengan tiga fase perkembangan atau tiga ranah
dimana manusia berkembang, yaitu:
1.
Fase Pra-Oedipal
Dalam fase ini,
subjek (bayi) sama sekali belum mengenal batasan ego. Ia tak menyadari batasan
antara tubuh ibu dengan tubuhnya sendiri. Bayi dan ibu masih merupakan kesatuan
sehingga identifikasi belum terjadi pada fase ini. Menurut Lacan bayi yang
belum memiliki pemisahan ini hanya memiliki satu kebutuhan yang dapat dipuaskan
dan tidak membuat perbedaan antara dirinya dengan objek yang memuaskan
kebutuhannya sehingga eksis diwilayah Yang
Real.
2.
Fase cermin atau tatanan Imajiner
Fase ini
merupakan bentuk praverbal yang logikanya bersifat visual. Fase ini terjadi
pada bayi berusia 6 bulan dan merupakan fase paling krusial untuk identifikasi
perkembangan ego. Misalkan ketika anak tersebut bercermin, dirinya yang ada di cermin
tersebut bersifat imajiner, karena yang ada di dalam cermin tersebut hanya
merupakan image. Saat itulah si anak
mulai belajar untuk menciptakan konstruksi dirinya. Kemudian ketika dewasa dia
akan terus membuat identifikasi imajiner
dengan objek-objek yang ditemuinya. Menurut Lacan ini merupakan fase normal
dalam perkembangan diri.
3.
Fase Oedipal atau Tatanan Simbolik
Fase ini terjadi
ketika anak harus berpisah dengan ibunya atau harus mengalami kastrasi. Anak
tak lagi melihat dirinya satu kesatuan dengan ibunya tetapi memandang ibunya
sebagai Liyan. Hubungan ibu dengan anak ini juga diperparah oleh kehadiran
ayah, ayah disini bersifat metafora. Anak harus kehilangan objek hasratnya,
yaitu ibu karena ia harus menerima kehadiran “ayah simbolik”. Anak harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh ibunya,
yaitu menyerap bahasa, penanda-penanda. Dengan demikian anak harus menerima
mekanisme imaji diri lain yang kerap bersifat represif (super ego) yang
fungsinya menerima dan mencerna image
diluar diri, berupa representasi dari berbagai versi hukum, aturan, konvensi,
adat, tabu dan lain-lain yang diidentifikasikan dengan dirinya sendiri, inilah
yang disebut dengan “simbol ayah”.
Relasi
Hasrat dan Ego dalam Psikoanalisis Lacanian
Individu
menurut Lacan mencampur adukkan antara hasratnya dengan hasrat orang lain.
Dengan demikian hasrat untuk memiliki identitas mendorong ego untuk meyakini
dirinya sebagai objek, sehingga keyakinan ini membuatnya melihat dirinya
sebagai objek dari hasrat orang lain atau menghasrati dirinya dengan hasrat
yang sama. Sederhananya menurut Lacan jika mencintai orang lain sesungguhnya
adalah tindak mental yang narsistik begitupun sebaliknya.
Dari
refleksi inilah mendorong para pengikut neofreudian seperti Rene Girard
memperkenalkan konsep hipotesis mimesis. Dua konklusi Girard tentang hasrat dan
mimesis. Hasrat sesungguhnya didorong oleh rasa kurang (lack) yang perlu dipenuhi. Seorang menghasrati objek bukan karena
kualitas objek itu sendiri melainkan karena orang lain menghasrati objek itu
dan mendapatkan keutuhan ontologis. Seseorang menginginkan mobil tetangga bukan
karena kualitas mobil itu, bukan juga kecintaan sang tetangga pada mobil itu melainkan
mobil itu memberikan sense of identity pada
sang tetangga.
Berdasarkan
pandangan Lacan ada dua bentuk hasrat yaitu hasrat menjadi. (to be) dan hasrat memiliki (to have):
1. Hasrat Menjadi: hasrat
yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan identifikasi. Dalam hal
ini hasrat menjadi obyek cinta -kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan-
Liyan (the others).
2. Hasrat
Memiliki: hasrat memiliki (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai
sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Hasrat memiliki dalam fondasi
masyarakat posmodern (kapitalisme global)
mengubah keinginan (want) menjadi kebutuhan (need). Artinya, kebutuhan
tersebut diciptakan.
III. Konsep Teori Psikoanalisis
Freud
+ Saussure = Lacan
Dalam
pembahasannya tentang pembagian absolut antara ketaksadaran dan kesadaran (atau
antara id dan ego), Sigmund Freud memperkenalkan gagasan tentang diri manusia,
atau subjek, sebagai sesuatu yang secara radikal terbagi dan terbelah (split)
di antara dua wilayah kesadaran dan ketaksadaran. Bagaimana pun, bagi Freud
tindakan, pemikiran, kepercayaan, dan konsep tentang “diri” utuh dideterminasi
atau dibentuk oleh ketaksadaran, serta berbagai dorongan hasrat.
Ringkasnya,
teori Lacan dimulai dengan ide tentang Yang Real yang merupakan state of nature, dan harus dipecahkan
untuk membangun budaya. Berikutnya datang tahapan Cermin, yang membentuk
Imajiner. Di sini mengulas ide tentang liyan dan mulai memahami Keliyanan
sebagai prinsip atau konsep penstrukturan, dan kemudian mulai memformulasi gagasan
tentang “diri”. “Diri” ini (sebagaimana terlihat di cermin) kenyataannya adalah
liyan, tetapi Anda salah mengenalinya sebagai Anda, dan menyebutnya “diri”.
(Atau, dalam non-teori bahasa, Anda melihat ke cermin dan mengatakan “hei,
itulah aku.” Tetapi bukan—itu hanyalah citraan).
Lacan
menolak anggapan Freud tentang berkuasanya ego atas Id. Menurutnya, kontrol ego
atas Id adalah sesuatu yang mustahil. Selanjutnya, Lacan menjelaskan bahwa
ketidaksadaran tidak lebih dari sebuah tatanan simbolik dari tradisi linguistik
Saussurian. Menurutnya, ketidaksadaran sepenuhnya adalah sadar akan bahasa, dan
secara khusus ia terdiri dari struktur bahasa. Bertolak dari hasrat yang
senantiasa bergolak, Lacan memodifikasi teori Saussure.
Saussure
mendiskusikan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda yang membentuk
tanda (signified). Sebuah tanda menjadi tanda dalam dirinya sendiri karena ia
semata-mata bukan tanda yang lain. Dengan ini Saussure sesungguhnya menegaskan
bahwa petanda selalu mengikuti penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan ini maka
makna tidak dapat muncul. Lacan mengatakan bahwa ego atau”Aku” (sesuatu yang
dirujuk sebagai ‘diri’) hanyalah ilusi. Ia adalah produk dari hasrat itu
sendiri. Hasrat merupakan kodrat manusia yang selalu berada dalam kekurangan (lack). Ego terbentuk melalui hasrat
untuk memiliki identitas. Bagi Lacan, ego merupakan sesuatu yang imajiner.
IV. Contoh Penerapan
Berikut
ini adalah beberapa contoh penerapan
teori psikoanalisis
dalam karya sastra Jepang yaitu karya Kenzaburo Oe (Jepang) yang
berjudul Man’en Gannen no Futtoboru (Jeritan Lirih). Berlatar di kawasan
lembah di Shikoku, Jepang. Novel ini bercerita tentang perubahan budaya yang
terjadi di Jepang dan kemerosotan harga diri dalam masyarakat.
Dalam
novel Jeritan Lirih, tokoh Takashi (Taka) mengalami dinamika kehidupannya yang
tidak lepas dari hasrat dan impian untuk pembuktian diri. Kecemerlangan
penggambaran tokoh Takashi ini digambarkan sedemikian rupa sehingga terasa
gejolak semangat kehidupan yang tak kenal henti tetapi justru ternodai oleh
akhir hidup yang mengenaskan sebagai wujud dari suatu kegagalan dalam meraih
‘misi hidup’. Kepribadian Takashi yang notabene sangat berbeda dengan kakaknya,
Mitsusaburo, mengantar dirinya pada pemenuhan keinginannya yang sangat kuat
untuk memperoleh pengakuan sebagai orang yang sama persis dengan adik kakek
buyut, idolanya. Keinginan atau hasrat seperti itu terlihat sulit untuk
dipenuhi.tetapi, meskipun demikian, tokoh tersebut mengisyaratkan akan simbol
kekuatan dan kekuasaan.
Hasrat
Tokoh Takashi dalam “Jeritan Lirih”
a. Kekaguman
Takashi kepada Adik Kakek Buyutnya
Merujuk
pada posisi ego menurut Lacan, dalam novel ini, ego Takashi adalah liyan, yaitu
sosok adik kakek buyutnya. Kenangannya terhadap tokoh ini sangat intens dan selalu
membayangi dirinya. Ia tidak senang dengan hal-hal yang bersimpangan dengan
pendapatnya mengenai tokoh tersebut. Kebutuhan (need) Takashi akan keinginannya
menjadi seorang pemimpin dalam sebuah pemberontakan sebagaimana halnya yang
pernah dilakukan oleh adik kakek buyutnya adalah penggambaran Yang Nyata dari
tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan. Kepribadian Takashi tidak
pernah utuh seperti yang ia idamkan/hasratkan dalam tataran Yang Nyata.
Permintaan
(demand) Takashi akan identitas bagi dirinya guna memenuhi kebutuhan (need)
tersebut terletak pada tataran Yang Imajiner. Kesadaran sebagai sebuah oknum
utuh terbentuk saat bayi melihat dirinya dalam pantulan cermin. Citra cermin
dikenali sebagai dirinya yang otonom sekaligus membentuk identitas. Lacan
berpendapat bahwa manusia selalu berada dalam kondisi lack/ berkekurangan, dan
hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) itu.
Momen
kehilangan dan kebutuhan akan identitas memasukkannya pada tataran Yang
Simbolik. Lacan mengatakan bahwa tatanan Yang Simbolik atau bahasa selalu
menyimpan momen kehilangan atau ketiadaan, yang dibutuhkan hanyalah kata-kata
ketika obyek yang diinginkan menghilang. Takashi sebagai subjek dikatakan bukan
merupakan sesuatu yang utuh. Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek
buyutnya yang seorang pemberontak merupakan identifikasi. Saat subyek Takashi terhubung
dengan obyek adik kakek buyut timbul rasa kagumnya maka ia harus merepresi
semua hasrat yang tidak sejalan dengan ciri, keinginan-keinginan, karakter,
dan segala kualitas yang dikandung obyek
tersebut.
Hasrat
Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang seorang pemberontak
digambarkan sebagai penanda atau keinginan, maka naluri mengarahkannya untuk
mencari lahan pemberontakan, sebagai obyek atau petanda, namun dengan tidak
adanya petanda lahan pemberontakan seperti yang pernah ada di tahun 1860 ketika
adik kakek buyutnya memimpin pemberontakan, maka naluri mengarahkannya untuk
menghimpun anak-anak muda dilatih sepak bola, sebagai penanda alih yang tidak
mempunyai hubungan penandaan di dalamnya. Tokoh Takashi dalam novel ini
digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk memenuhi hasratnya seperti adik
kakek buyutnya dalam memimpin pemberontakan di tahun 1860. Ia menghimpun
kelompok anak muda. Kemudian menjadikan rumah utama sebagai markasnya.
Selanjutnya, ia membuka lahan untuk melatih para pemuda bermain sepak bola.
Rangkaian cara-cara yang ditempuh sang tokoh merupakan penanda-penanda yang
lain dan mengisyaratkan makna, yaitu: untuk dapat menggerakkan sebuah
pemberontakan ia membutuhkan sebuah lahan pemberontakan. Dalam hal ini Takashi
melihat bahwa Kaisar dan supermarketnya telah banyak merugikan bisnis orang
lembah dan ia ingin ‘memberontak’ dan ingin menjadi pemimpin pemberontakan itu.
Memulai pemberontakan tidaklah mudah karena masalahnya tidak seperti persis
yang dialami oleh adik kakek buyutnya pada tahun 1860. Ia, Takashi, harus
menciptakan ‘masalah’ dengan melihat suasana yang terjadi di kehidupan lembah
tersebut. Jawabannya adalah dominasi bisnis Kaisar dengan super marketnya.
Untuk itu ia harus menyiapkan bala tentaranya.
Penanda
sekumpulan anak muda berlatih sepak bola mengisyaratkan bahwa dalam kesenangan
seperti itu mereka akan mudah dipengaruhi. Ketika mereka terpengaruh mereka
akan menganggap Takashi sebagai pemimpinnya. Itu akan memudahkan
langkah-langkah Takashi untuk melaksanakan pemberontakan dan pemenuhan akan
hasrat menjadi-nya akan tercapai.
Hubungan
penanda pemberontakan dan petanda lahan pemberontakan dapat dipahami dalam
tataran Yang Simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik dengan konsep
metafora. Hubungan paradigmatik
dapat dilihat dari penanda pemberontak/pemberontakan dengan petanda-petanda
lain seperti berani, gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati. Hubungan metaforik muncul karena dengan
adanya kekuatan represi suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda
pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti menempati
kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang
muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju posisi dan
mengidentifikasi ciri, karakter, status, dan citraan yang terhubung dengan satu
atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.
Citraan
adik kakek buyut Takashi adalah hasil identifikasi dalam tataran Yang Imajiner
yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut
dialihkan ke petanda aksi penjarahan supermarket Kaisar. Jadi aksi penjarahan
supermarket Kaisar merupakan simbol/ metafor dari hasil identifikasi tokoh
citraan adik kakek buyut bagi Takashi.
Istilah
Kaisar sendiri merupakan metafor yang menyimbolkan penguasa atas penduduk
lembah.
“…
setelah perang usai, tanah pemukiman Korea dijual kepada orang Korea yang kerja
paksa di hutan, tapi tak lama kemudian, salah satu dari mereka mendapatkan
monopoli tanah dengan cara membeli semua lahan dari yang lain. Dia kemudian
membangun dan membangun, dan akhirnya jadilah Kaisar yang kau lihat sekarang
ini.” (Oe, 2004:111)
Sedangkan
kata lembah juga mengandung metafor sebagai yang dkuasai karena lembah
posisinya di bawah, tidak seperti menjulangnya gunung. Masyarakat lembah
dikenal malas, suka mabuk-mabukan, dan suka merampok, maka perekonomian cepat
dikuasai oleh orang-orang Korea yang dulunya hanya sebagai pekerja paksa di
hutan.
Petanda-petanda
lain yang digambarkan dalam novel ini juga bermunculan sebagai penanda berani,
gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati. Penanda merusak
kemapanan ditunjukkan oleh petanda tindakan Takashi dalam menciptakan suasana
tidak tentram di masyarakat lembah mengenai ide menghancurkan Kaisar dan
bisnisnya yaitu dengan menjual rumah gudang dan melakukan penjarahan supermarket.
Di samping itu petanda lain yaitu petanda berani dan gagah dengan meniduri
kakak iparnya. Ini artinya ia telah merusak kemapanan kehidupan rumah tangga
Mitsusaburo dan Natsumi dalam masalah seks. Mitsusaburo sudah merasa bahwa
dirinya dan Natsumi sama-sama memahami kehidupan seksual mereka setelah
memperoleh anak yang cacat. Kemudian penanda berani mati dimunculkan lewat
petanda tindakan bunuh diri.
Kekaguman
Takashi terhadap adik kakek buyutnya (ada dalam Yang real) melahirkan suatu
hasrat menjadi yang melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat
bagaimana Takashi memperlihatkan eksistensi dirinya lewat gaya hidupnya yang
menyamai sang idola. Dengan demikian penanda utama pemberontak atau
pemberontakan melekat erat dalam ego Takashi yang direpresentasikan melalui
petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi
penanda alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan
paradigmatik (ada dalam tataran Yang Simbolik) dan sintagmatik (ada dalam
tataran yang Imajiner) yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi.
b. Pemenuhan
Hasrat Takashi
Dalam
novel ini, hasrat Takashi untuk menjadi seperti adik kakek buyutnya
mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Takashi itu merupakan apa yang
tersisa dari represi tataran Yang
Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Takashi tidak akan pernah meraihnya.
Fantasi
Takashi tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran Yang
Nyata. Takashi telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu
adik kakek buyut dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta
kenyamanan eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang pemimpin
pemberontakan, atau katakanlah, ia berperilaku sebagaimana seorang pemberontak.
Ini berarti Takashi rela mematikan hal-hal yang ada pada dirinya sendiri demi
menjaga struktur penanda itu. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi represi atau
larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Dalam hal
ini larangan-larangan atau represi itu muncul dari sikap bertentangan dari
Mitsusaburo dan kekuasaan Kaisar. Meskipun demikian, kenikmatan yang
dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam bentuk yang lain. Kenikmatan yang
dikorbankan Takashi adalah bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya
dengan sosok adik kakek buyut melalui tindakan-tindakannya. Dalam satu hal,
Takashi begitu bersemangat melakukan sesuatu yang mirip adik kakek buyutnya.
“…
Tampaknya tindakannya dipengaruhi oleh peristiwa 1860. Hari ini contohnya, dia
mulai mengumpulkan anak-anak muda di lembah untuk berlatih sepak bola, hanya
karena dia senang dengan cerita tentang adik laki-laki kakek buyut yang
membabat hutan sebagai tempat latihan guna menyiapkan para pemuda itu untuk
berjuang.” (Oe, 2004:29)
Hal
lainnya misalnya, Takashi sangat tersinggung dengan pendapat Natsumi yang
meremehkan sejarah keluarga Nedokoro. Kemarahannya disebabkan ucapan Natsumi
yang menyebut legenda tua terhadap cerita heroik mengenai adik kakek buyut yang
memimpin pemberontakan. Ia begitu mengidolakan adik kakek buyut itu.
“…
Bagaimana bisa kau begitu terbawa legenda tua ini, padahal kau kesakitan dan
berdarah?” “Ada juga yang bisa dipelajari dari legenda,” ujar Takashi kesal.
Itulah pertama kalinya dia menunjukkan sikap pemarahnya pada istriku. (Oe,
2004:81)
Takashi
juga sangat tidak setuju dengan pendapat Mitsusaburo yang mengatakan bahwa adik
kakek buyutnya melarikan diri ke Kochi meninggalkan anak buahnya dihukum mati.
Ia berusaha menjaga struktur idolanya itu dan klimaksnya ialah ketika ia harus
merasakan terluka dalam ‘pemberontakan’nya dan menyudahi hidupnya dengan
tembakan di kepala.
Hasrat Takashi memang tidak akan tercapai,
tetapi setidaknya ia telah melakukan tindakan-tindakan yang membawanya pada
kenikmatan hidupnya karena telah berbuat seperti apa yang telah dilakukan oleh
idolanya. Inilah yang disebut pemenuhan hasrat itu sendiri meskipun tampil
dalam bentuk yang lain.
Bunuh
diri Takashi sebenarnya merupakan pemenuhan dari hasrat itu sendiri. Dengan
bunuh diri ia merasa lengkap sebagai seorang pemberontak yang sebenarnya. Itu
karena bunuh diri dihadirkan sebagai petanda dari penanda berani mati yang
mengikuti penanda pemberontak dalam hubungan paradigmatik. Jadi bunuh diri
dalam novel ini muncul sebagai unsur metafor yang menyimbolkan pemenuhan hasrat
Takashi, yaitu hasrat menjadi seperti adik kakek buyutnya.
Hasrat
untuk memiliki Takashi adalah kelanjutan dari hasrat untuk menjadi. Keinginan
Takashi memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin dengan melakukan penjarahan
supermarket Kaisar menunjukkan betapa penting posisi Liyan disamping liyan.
Kaisar dan bisnis super market-nya adalah lambang kekuasaan di masyarakat
lembah. Hasrat memilikinya mendorongnya untuk menghancurkan simbol kekuasaan
itu untuk seterusnya dirinya yang akan menjadi simbol kekuasaan akibat dari
keterpenuhannya akan hasrat untuk menjadi. Seperti yang ditegaskan oleh
Saussure bahwa petanda selalu mengikuti penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan
ini maka makna tidak dapat muncul. Dengan kata lain, penjarahan terhadap
supermarket merupakan petanda dari penanda kekuasaan.
Daftar
Pustaka
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Boeree. C. George. 2008. General
Psychology. Yogyakarta: Prismasophie.
Freud, Sigmund. (2006). Memperkenalkan Psikoanalisis: Lima ceramah.
Terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Oe, Kenzaburo. 1995. Jeritan Lirih (The Silent Cry
(万延元年のフットボール, Man'en gan'nen no futtobōru) diterjemahkan oleh Utti Setiawati. Yogyakarta: Jalasutra
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.